Ditengah
lelapnya tidurku, ada hantaman keras tepat di pintu kamarku... aku tersentak
menyadari ada sesuatu di luar kamarku.. lampu kamarku masih terang, sepertinya
aku lupa mematikannya sesaat sebelum mengantuk menyapaku. Mataku berkeliling
seakan mencari-cari sesuatu yang tak ada. Aku yakin ada hal ganjil di luar
kamarku.
Aku
mulai mengumpulkan keberanian untuk duduk dan menajamkan pendengaranku. Aku
dengar langkah-langkah kaki tak wajar mengingat kamarku adalah kamar terakhir
di ujung lorong. Apa gerangan ada orang berjalan-jalan di depan kamar pojok
jika tak ada maksud lain. Tapi sekali lagi aku yakin yang sekarang sedang
berada di luar itu bukanlah manusia.
Rendi
menyuruhku untuk tetap diam di tempat, tak bergerak dan tak bersuara. Lalu dia
menembus dimensi lain untuk menemui tamu tak diundang tersebut. Mereka
bertatapan tak ada senyum. Sang tamu melongok ke dalam kamarku menembus dinding
putih, kepala sampai setengah badannya muncul lalu melihat ke arahku. Ia
mengikik lalu menghilang. Itu bukanlah kuntilanak yang sering orang bicarakan,
bukan pula perempuan-perempuan bergaun putih panjang dengan tampang mengerikan.
Ia sesosok manusia dengan tinggi diatas rata-rata manusia paling tinggi dan
ukuran badan yang sangat besar, memakai sejenis sorban di kepala dengan
lingkaran hitam di bawah mata. Well, itu cukup menakutkan namun Rendi kembali
hadir dan menenangkanku bahwa semua baik-baik saja.
Rendi,
sosok itu.... entahlah.. apakah dia manusia? Bukan... makhluk lain entah apa..
entah kepribadian gandaku.. entah pula hanya teman khayalan.. entah... Dia yang
menemaniku saat muncul makhluk-makhluk menakutkan di sekitarku. Dia pula yang
menemani ceritaku saat tak ada satu orang pun yang mengerti ketakutanku. Jika
ditanya siapa dia.. aku tak tahu...
Rendi
lalu pergi, tak ingin mengganggu jam tidurku yang baru saja berkurang akibat
ulah tamu tak diundang. Satu detik, dua detik, tiga.... entah berapa detik
setelahnya, aku sudah berada di tempat lain. Di antara lorong kamarku yang
mengarah entah kemana, lorongnya sangat panjang dipenuhi cahaya merah redup.
Aku tapaki selangkah demi selangkah jalan itu, karena tak ada jalan lain. Di
ujungnya terdapat pintu yang menghubungkan ke suatu kamar yang cukup besar. Ada
satu keluarga yang sedang duduk disana dengan tatapan kosong, tak bersuara. Aku
mulai menyadari dimana keberadaanku. Ini dimensi lain entah dimana. Tiba-tiba
saja, mereka menoleh ke arahku dengan tatapan tajam. Hanya menoleh memang, tapi
cukup mengagetkanku. Aku mundur.. mencari jalan keluar.. berlari kesana kemari..
namun tak menemukannya.. Kusandarkan tubuhku di dinding berwarna putih pucat
itu, lalu aku berkata, “aku capek”. Ku tutup mata dan berusaha kembali ke dunia
nyata..
Aku
tersentak... di depan pintu kamarku...